A. PROSPEK
PENGELOLAAN LANSKAP PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
Perubahan bentuk lanskap terutama dalam
bidang pertanian yang terjadi saat ini merupakan salah satu masalah yang dapat
menimbulkan terjadinya kerusakan alam sehingga mengakibatkan adanya perubahan
pada lingkungan manusia. Terjadinya kerusakan ini dapat diakibatkan oleh
beberapa faktor dalam bidang pertanian misalnya terjadinya alih fungsi lahan,
penebangan hutan, penanaman tanaman dengan pola monokultur dan lain-lain
sehingga menyebabkan banyak tanah dan air menjadi kurang produktif dan banyak
daerah yang kekurang air. Prospek dari pengelolaan lanskap dalam pembangunan
pertanian berkelanjutan adalah adanya konservasi tanah dan air untuk memperbaiki
kesimbangan ekosistem yang rusak dan membangun kembali lanskap serta dilakukan
pendekatan dengan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan untuk
meningkatkan produksi tanaman (Ryszkowski, 2002).
1.
Konservasi tanah
dan air
Konservasi tanah dan air merupakan upaya
dalam memperbaiki dan menjaga kualitas dan jumlah tanah dan air yang memiliki
fungsi sebagai pemenuhan berbagai kebutuhan dalam kehidupan manusia dan
organisme hidup lainnya. Konservasi tanah dan air berdasarkan perbandingan
antara erosi actual dan erosi yang diperbolehkan, jika erosi actual lebih kecil
dari erosi yang diperbolehkan maka daerah tersebut harus dijaga kondisi tanah
dan airnya sedangkan, jika erosi actual lebih besar dari erosi yang
diperbolehkan maka perlu dilakukan upaya dalam perencanaan konservasi (Dewi, I,
dkk, 2012).
Sumber:
Sutapa, I, 2010
Tabel 1. Penggunaan teras bangku dalam upaya
konservasi tanah pada lahan miring.
Sumber:
Sulistio, H, 2012
Table 2. Model penanganan DTA bendung dalam upaya
konservasi air.
Penggunaan teras banggku ini dalam upaya
konservasi tanah yang dilakukan pada lahan kering ini disesuaikan dengan
kondisi lahan yang ada. Pada daerah dengan kemiringan yang terjal usaha
penggunaan teras bangku ini sangat penting dilakukan untuk menjaga agar tidak
terjadi erosi pada tanah-tanah yang ada didaerah terjal tersebut. Selain itu,
usaha dalam penutupan vegetasi juga merupakan salah satu cara dalam
mempertahankan terjadinya erosi dan memiliki fungsi sebagai pengikat
partikel-partikel tanah (Sutapa, I, 2010). Upaya dalam melakukan konservasi air
dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan pembuatan
sumur resapan pada Daerah Tangkapan Air (DTA) yang memiliki berfungsi sebagai
pengurangan jumlah air yang tertahan diatas tanah yang menyebabkan terjadinya
erosi (Sulistio, H, 2012). Selain itu, upaya dalam normalisai saluran air perlu
dilakukan untuk menjaga kelestarian sumberdaya air.
2.
Penerapan
teknologi ramah lingkungan
Sumber:
Pratiwi, 2007
Table 3. Penerapan teknik mulsa vertical dengan menggunakan
bahan alami
Upaya dalam peningkatan kualitas tanah
dan air dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan
memanfaatkan mulsa dari limbah berbagai serasahan untuk melindungi tanah dari
terjadinya erosi dan peningkatan serapan air ke dalam tanah. Mulsa ini memiliki
fungsi berbagai macam seperti penghasil hara bagi tanaman, media untuk biomas
yang berfungsi sebagai penyerapan masa air dalam jumlah yang banyak,
meningkatkan keragaman organisme tanah dan lain-lain. Teknologi mulsa ini dapat
dilakukan pada lahan pertanian yang dikombinasikan dengan pembuatan guludan
(Pratiwi, 2007). Penerapan teknologi mulsa ini dilakukan dengan memanfaatkan
berbagai macam bagian organisme terutama tanaman yang digunakan dalam upaya
melestarikan keragaman hayati dan meminimalkan penggunaan bahan kimia.
B.
PENATAAN RUANG
KAMPUS UNIVERSITAS JEMBER
Kampus Universitas Jember pada dasarnya
telah memiliki tata ruang yang baik karena pendidikan antara ilmu pengetahuan
alam dan social terpisah tetapi untuk penataan ruang secara ekologi kurang
banyak diperhatikan. Misalnya tidak adanya zona resapan air hujan, pemanfaatan
lahan yang kurang efektif, penggunaan tanaman yang kurang tepat dan lain-lain.
Dalam penataan zona resapan air yang kurang diperhatikan dibeberapa tempat
menyebabkan pada saat kondisi hujan banyak terjadi penggenangan air yang
merusak pandangan. Contohnya disamping barat Fakultas Pertanian tidak memiliki
saluran air yang cukup memadai sehingga ketika hujan sering terdapat air yang
menggenang. Seharusnya dalam setiap penataan ruang harus mempertimbangkan
adanya saluran air sebagai tempat pengaliran air agar tidak menggenang dan
merusak pemandangan dan juga memanfaatkan sumur resapan untuk memberikan
cadangan air tanah sehingga dapat dimanfaatkan pada saat musim kemarau (Asdak
dan Salim, 2006). Kondisi tersebut juga didukung dengan tidak adanya tanaman
yang memiliki fungsi sebagai penyimpan air dipinggir gerbang masuk Unej. Penggunaan
tanaman yang kurang tepat memberikan kesan yang tidak baik terutama dalam tata
ruang pada gebang Kampus. Ketika kita masuk kampus tidak memiliki pohon-pohon
sebagai pemberi kesan yang sejuk dan tenang saat kita masuk kedalam kampus
(Najoan, J, 2011). Seharusnya pada gerbang depan kampus pemberian pohon
trembesi Samanea saman (Rain Tree) yang
memiliki fungsi sebagai tempat penaungan agar tidak terlalu panas ketika musim
kemarau dan tidak memberikan kesan yang gersang pada saat kemarau. Secara
ekologi tanaman ini memiliki fungsi sebagai pengurangan emisi gas CO2
dan dapat mengurangi dampak pemanasan global (Nuroniah dan Kosasih, 2010).
Gambar 1. Kondisi di gerbang depan Kampus
Universitas Jember.
C.
PENGHITUNGAN
DEFISIT AIR
Air merupakan salah satu komponen yang
sangat penting dalam setiap kehidupan organisme. Dalam produksi tanaman faktor
yang menentukan produksi salah satunya adalah ketersedian air bagi tanaman
sehingga mendukung dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Trisilawati dan
Pitono, 2012). Pada saat ini, pada sebagian daerah memiliki tingkat cadangan
air yang sangat memprihatinkan akibat tidak adanya kesadaran masyarakat tentang
pengelolaan air yang benar, penggunaan lahan, pembentukan lanskap yang tidak
sesuai dan perubahan iklim (Ryszkowski, 2002). Deficit air merupakan suatu
kondisi rendahnya ketersedian air yang ada sehingga tidak mampu mendukung dalam
upaya pemenuhan kebutuhan. Deficit air dalam suatu lanskap dipengaruhi oleh adanya
beberapa faktor yaitu evapotranspirasi, curah hujan, jenis tanaman dan kondisi
tanah (Ryszkowski, 2002). Evapotranspirasi merupakan keadaan dimana kehilangan
air melalui tanah dan tanaman akibat adanya penguapan yang terjadi dibagian
tersebut. Evapotranspirasi yang paling besar terjadi pada musim kemarau karena
suhu udara mengalami peningkatan. Evapotranspirasi didasarkan pada jumlah hari
hujan setiap bulan dengan menggunakan asumsi jika evapotranspirasi sebesar
150 mm maka hari hujan akan terjadi lebih dari 10 hari dan jika
evapotranspirasi sebesar 120 mm maka
hari hujan akan terjadi kurang dari 10 hari. Curah hujan merupakan salah satu
bentuk dari titik-titik airyang ada di awan jatuh ke bumi karena adanya
perbedaan suhu udara.
Sumber:
Zulkipli, dkk, 2012
Table 4. Neraca air tahun 2011, 2016, 2021, 2026,
2031, dan 2036.
Table tersebut menunjukkan bahwa pada
setiap tahun dalam interval waktu 5 tahun akan terjadi deficit air pada bulan
januari-februari dan april-desember sedangkan bulan maret akan mengalami
surplus air. Pada bidang pertanian dapat dilakukan pemanfaatan air secara
efektif dengan melakukan pola tanam yang proposional sesuai dengan kondisi
ketersedian air yang ada (Zulkipli, dkk, 2012).
Pertimbangan curah hujan untuk
menentukan deficit air ini perlu diperhatikan karena setiap bulan jumlah air
yang jatuh ke bumi mengalami perbedaan sehingga ketersediaan air didalam tanah
mengalami perbedaan. Jenis tanaman dalam menentukan deficit air pada lahan
berhubungan dengan kebutuhan tanaman tersebut karena pada dasarnya tanaman
memiliki kebutuhan air yang berbeda-beda. Umumnya kondisi tanah pada setiap
daerah mengalami perbedaan, kondisi tanah ini berhubungan dengan ketahan tanah
terhadap penyedian air bagi semua makhluk hidup. Ketersediaan air tanah
maksimum adalah 200 mm, yang merupakan kemampuan maksimal tanah untuk mengikat
air. Jika keseimbangan air untuk bulan tertentu lebih besar dari 200 mm maka cadangan
akhir untuk bulan tersebut adalah 200 mm. Jika keseimbangan air untuk bulan
tertentu lebih kecil dari 200 mm, maka keseimbangan air tersebut menjadi cadangan
akhir untuk bulan tersebut (Zulkipli, dkk, 2012). Jika keseimbangan air adalah
minus, maka cadangan akhir adalah 0 mm dan cadangan akhir untuk bulan tersebut
menjadi cadangan bulan untuk bulan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak
dan Salim. 2006. Daya Dukung Sumberdaya Air Sebagai Pertimbangan Penataan
Ruang. Jurnal Teknik Lingkungan 7(1):
16-25.
Dewi, I, dkk. 2012. Prediksi Erosi dan Perencanaan Konservasi Tanah dan Air pada Daerah Aliran Sungai Saba. Jurnal Agroekoteknologi Tropika 1(1): 12-23.
Najoan, Jemmy. 2011. Evaluasi Penggunaan Tanaman Lansekap di Taman Kesatuan Bangsa (Tkb) Pusat Kota Manado. Jurnal Sabua 3(1): 9-18.
Nuroniah dan Kosasih, 2010. Mengenal Jenis Trembesi (Samanea Saman (Jacquin) Merrill) Sebagai Pohon Peneduh. Mitra Hutan Tanaman 5(1): 1-5
Pratiwi. 2007. Konservasi Tanah dan Air: Pemanfaatan Limbah Hutan dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Terdegradasi. Prosding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian: 81-85.
Ryszkowski. 2002. Landscape Ecology in Agroecosystems Management. CRC Press LLC: Florida
Sulistio, H. 2012. Konservasi Daerah Tangkapan Air Cipta Graha. Media Sains 4(1): 36-42.
Sutapa, I. 2010. Analisis Potensi Erosi pada Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sulawesi Tengah. Jurnal Smartek 8(3): 169-181.
Trisilawati dan Pitono. 2012. Pengaruh Cekaman Defisit Air terhadap Pembentukan Bahan Aktif pada Purwoceng. Bulletin Littro 23(1): 34-47.
Zulkipli, dkk. 2012. Analisa Neraca Air Permukaan DAS Renggung Untuk Memenuhi Kebutuhan Air Irigasi dan Domestik Penduduk Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal Teknik Pengairan 3(2): 87-96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar