BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Produk hortikultura Indonesia sangat beragam mulai dari
buah-buahan yang banyak dijual dipasaran sampai buah-buahan yang jarang sekali
ditemukan dipasaran. Banyak buah-buahan
yang di ekspor keluar negri tetapi banyak juga buah-buahan yang ditolak dengan
alasan berbagai macam salah satunya adalah penurunan kualitas buah-buahan yang
dikirim sehingga dapat menyebabkan permintaan pasar berkurang.
Pada dasarnya komoditas buah-buahan dan sayuran sanagat
mudah mengalami kerusakan ketika dipanen dari pohonnya karena proses respirasi
dan transpirasi pada buah terjadi. Untuk menghambat proses tersebut perlu
adanya teknik dimana dalam mengurangi proses terjadinya laju transpirasi pada
buah dan sayuran. Cara yang paling efektif untuk menurunkan laju respirasi
adalah dengan menurunkan suhu produk namun demikian beberapa cara tambahan dari
cara pendinginan tersebut dapat meningkatkan efektifitas penurunan laju
respirasi. Cara tambahan selain menurunkan suhu dilakukan pengemasan dengan pengemas
plastik.
Kemasan plastik untuk produk segar akan menyebabkan adanya perubahan
konsentrasi CO2 dan O2 sekitar produk didalam kemasan
sebagai akibat dari prose respirasi produk serta interaksinya dengan
permeabilitas plastik terhadap CO2 dan O2. Pemilihan
ketebalan kemasan plastik adalah hal yang kritis karena berhubungan dengan
permeabilitas plastik terhadap keadaan lingkungan. Produk holtikultura merupakan produk
yang mudah rusak (perisable). Produk yang telah dipanen mengalami berbagai
macam bentuk stress seperti hilangnya suplai nutrisi, proses panen yang banyak
menimbulkan pelukaan berarti, pengemasan dan transportasi yang sering
menyebabkan kerusakan mekanis lebih lanjut, hambatan ketersedian CO2 dan O2,
hambatan regim suhu, dan sebagainya. Sehingga butuh penanganan khusus pada
tahapan pasca panen. Penanganan pasca panen ini bertujuan memberikan penampilan
yang baik dan kemudahan-kemudahan bagi masyarakat (konsumen), memberikan
perlindungan produk dari kerusakan dan memperpanjan masa simpan.
Penanganan pasca panen buah dan
sayuran seperti Indonesia belum mendapat perhatian yang cukup. Hal ini terlihat
dari kerusakan-kerusakan pasca panen sebesar 25 % - 28 %. Oleh sebab itu agar
produk holtikultura terutama buah-buahan dan sayuran dapat sampai ke tangan
konsumen dalam kondisi baik perlu penanganan pasca panen yang benar dan sesuai.
Bila pasca panen dilakukan dengan baik, kerusakan-kerusakan yang timbul dapat
diperkecil bahkan dihindari, sehingga kerugian di tingkat konsumen dapat
ditekan (Suhardi, 1992). Berbagai cara penanganan pasca panen buah dan sayuran
adalah pendinginan awal (recooling), sortasi, pencucian/pembersihan, degreening
(penghilangan warna hijau) dan colour adding (perbaikan warna), pelapisan
lilin, fumigasi, pengemasan/pengepakan dan penyimpanan. Macam-macam penyebab kerusakan pada produk hortikultura
tersebut, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya terhadap penyebab
kerusakannya. Selanjutnya perlu pula diketahui bagaimana atau upaya-upaya apa
saja yang mungkin dapat dilakukan untuk mengurangi atau meniadakan terjadinya
kerusakan tersebut sehingga kalaupun tejadi kerusakan terjadinya sekecil
mungkin.
1.2 Tujuan
1.
Mahasiswa
memahami adanya interaksi metabolisme produk dengan karakteristik permeabilitas
plastik berpengaruh terhadap mutu produk hortikultura segar selama penyimpanan.
2.
Mahasiswa
memahami pentingnya pengemasan dan suhu penyimpanan sebagai cara untuk
memperlambat kemunduran mutu produk.
3.
Mahasiswa
mampu mengidentifikasi perubahan-perubahan karakteristik mutu produk segar
akibat pengemasan plastik dan suhu selama penyimpanan.
4.
Mampu
membuat laporan tertulis secara kritis.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Produk hortikultura
merupakan produk yang sangat mudah rusak sehingga dalam penanganan pasca
panennya perlu adanya pengaturan agar produk tetap segar apabila dikirim kepada
distributor. Secara umum, menyimpan produk sayuran yang paling sederhana adalah dengan menempatkan bahan di tempat yang bersih, kering, dan kelembaban lingkungan yang sama dengan kelembaban bahan. Cara ini ditempuh untuk menghindari kehilangan kandungan air bahan secara berlebihan. Untuk menghindari proses pembusukan pada sayuran dan buah, bahan disimpan dalam keadaan permukaan kulitnya kering. Kering disini artinya permukaan kulit bebas dari air permukaaan yang menempel. Cara mengeringkan cukup dianginanginkan. Menjaga kesegaran dan menghindari pembusukan bahan merupakan dua sasaran utama dalam usaha penyimpanan bahan segar. Bahan yang keadaannya lembab dan kotor akan mendorong timbulnya pembusukan yang lebih cepat. Proses pembusukan bahan diawali dengan semakin meningkatnya suhu bahan dalam tempat penyimpanan. Meningkatnya suhu dan timbulnya bau pengap merupakan tanda terjadinya awal proses pembusukan, yang mudah dikenali. Dalam keadaan basah dan hangat, cendawan dan bakteri pembusuk akan cepat berkembang dan aktif merusak sehingga bahan akan menjadi cepat rusak (Dwiari, dkk, 2008).
Selain penyimpanan
dengan menggunakan metode pengemasan dengan plastik dan dengan cara sederhana
dalam usaha memperpanjang daya simpan produk dapat dilakukan dengan cara
penyimpanan hipobarik. Penyimpanan hipobarik ini dilakukan didalam ruang vakum
yang berhubungan dengan udara yang mengandung air jenuh sehingga bermanfaat
dalam mempertahankan tingkat oksigen dalam buah dan kehilangan air pada buah karena
hal ini dapat menurunkan tekanan parsial pada oksigen dan pada buah yang lain
dapat menekan produksi gas etilen (Hawa, La Choviya, 2006). Dengan memanfaatkan
berbagai teknolgi yang ada akan memerlukan biaya yang cukup mahal tetapi bagi
petani yang tidak memiliki biaya cukup dalam proses penyimpanan dapat
menerapkan cara yang sederhana agar menekan biaya produksi produk.
Pengemasan yang
sering dilakukan dalam produk hortikultura adalah teknologi penyimpanan dengan
controlled atmosfer (CA) dan modifikasi atmosfer packing (MAP) yang bertujuan
dalam menekan laju respirasi pada buah sehingga buah lebih segar dalam proses
pengirimannya. Dalam metode MAP biasanya digunakan plastik polietilen dalam
setiap kemasan produk hortikultura karena dapat menekan CO2 dan O2
didalam kemasan tetapi meskipun plastik polietilen ini memiliki permeabilitas
yang cukup tinggi tetapi tidak cocok pada kemasan yang tertutup (Rosalina,
Yessy, 2011). Penggunaan berbagai sistem penyimpanan dapat menghambat dalam
proses percepatan pembusukan sehingga buah yang dipetik dapat bertahan lama
ketika disimpan.
Ketika buah
disimpan pada suhu rendah maka buah akan terlihat lebih pucat karena buah
mengalami kesetimbangan akibat kekurangan O2 sehingga terjadi
perubahan proses kimi yaitu fermentasi yang menyebabkan buah mengeluarkan air
dalam tubuhnya sehingga cahaya memantul karena adanya lapisan air pada
permukaan buah. Selain perubahan secara visual buah akan berubah warna akibat
perlakuan suhu rendah (Sugiarto, dkk, 2005). Dalam melakukan penyimpanan
penting mengetahui karakteristik buah yang akan disimpan sehingga komposisi
atmosfer tepat dan tida berdampak buruk bagi buah dan memiliki daya simpan yang
lebih lama daripada buah yang tidak diperlakukan dengan kondisi tersebut.
BAB 3 METODOLOGI
3.1 Waktu
dan Tempat
Pratikum ini dilakukan pada hari selasa, di Laboratorium Produksi Tanaman
Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jember.
3.2 Alat
dan Bahan
3.2.1
Alat
1.
Ruang
pendingin
3.2.2
Bahan
1.
Jenis
sayuran daun (kangkung, seledri, selada dan sawi)
2.
Jenis
buah (pisang, tomat, rambutan, duku dan lain-lain)
3.
Plastik
polietilen densitas rendah (LDPE)
3.3 Cara
Kerja
1.
Memilih
salah satu jenis buah dan sayuran daun sebagai bahan percobaan.
2.
Mengemas
bahan dengan jumlah atau berat tertentu sebagai unit percobaan dengan plastik
LDPE dengan dua ketebalan berbeda di atas.
3.
Meyakinkan
bahwa tidak ada kebocoran udara pada bagian sambungan kemasan plastik.
4.
Menempatkan
pada suhu dingin dan suhu kamar pada bahan yang telah dikemas.
5.
Mengulang
percobaan sebanyak dua kali perlakuan.
6.
Mengamati
perubahan mutu bahan percobaan selama periode penyimpanan.
BAB 4 HASIL PEMBAHASAN
4.1
Hasil
------------------------------------
4.2
Pembahasan
Pada dasarnya
prinsip dari pengemasan adalah penekanan laju respirasi yang ada dalam buah dan
sayuran yang ada karena respirasi yang ada mempengaruhi dalam beberapa proses
metabolisme yang ada didalam buah dan sayur yang disimpan. Dari data yang
didapat menggunakan plastik polietilen merupakan salah satu cara untuk menekan
laju respirasi dalam sayuran sehingga dapat disimpan dengan waktu yang lama
tetapi memiliki efek perubahan struktur dan tekstur pada sayur yang dikemas.
Ketika sayuran yang tidak dikemas akan menyebabkan sayuran tersebut mudah
melakukan respirasi sehingga metabolisme yang ada akan mempercepat buah atau
sayuran yang dikemas cepat busuk sehingga menurunkan kualitas dari komoditas
tersebut. Kerusakan yang terjadi selain karena metabolik yang ada dalam tanaman
yang disimpan dapat terjadi karena adanya aktifitas organisme pengganggu
(Rachmawati, 2010). Ketika buah atau sayuran yang dilakukan pengemasan tidak
akan terjadi pertukaran gas yang ada didalam komoditas sehingga air akan
menggenangi kemasan dan akan berakibat terjadi reaksi kimia yaitu fermentasi
dalam sayuran yang dapat merubah tekstur dari keras menjadi lunak pada sayuran
yang dikemas.
Pada pratikum yang
dilakukan sayuran yang dikemas lebih efektif jika dilihat dari perubahan
tekstur yaitu pembusukan yang terjadi lebih relatif dapat diktekan karena
pengaruh plastik yang digunakan sehingga memungkinkan sayuran yang ada didalam
kemasan tidak terjadi pertukaran gas dan laju respirasi dapat ditekan serendah
mungkin dan memungkinkan komoditas yang disimpan dapat bertahan dalam beberapa
hari. Kerusakan dapat terjadi pada seluruh tahapan, mulai dari kegiatan
sebelum panen, pemanenan, penanganan, grading, pengemasan, transportasi,
penyimpanan, dan pemasaran. Pada
umumnya kerusakan dapat
terjadi adalah memar, terpotong, adanya tusukan tusukan, bagian yang pecah,
lecet dan abrasi. Kerusakan dapat pula ditunjukkan oleh dihasilkannya stress
metabolat, terjadinya perubahan warna coklat dari jaringan rusak. Suhu adalah faktor sangat penting yang
paling berpengaruh terhadap laju kemunduran dari komoditi pascapanen. Setiap
peningkatan 10oC laju kemunduran meningkat dua sampai tiga kali.
Komoditi yang dihadapkan pada suhu yang tidak sesuai dengan suhu penyimpanan
optimal, menyebabkan terjadinya berbagai kerusakan fisiologis. Penurunan O2 dan peningkatan CO2
yang berakibat buruk terhadap komoditi. Kelembaban dalam kemasan
adalah salah satu faktor yang dapat
mendukung terjadinya proses pembusukan pada produk pasca panen. Komoditas holtikultura merupakan salah
satu produk pertanian yang mudh mengalami kerusakan baik secara fisiologis
maupun kimia karena kurangnya penanganan pasca panen yang benar sehingga
komoditas yang rusak akan menyebabkan kerugian bagi pengusaha khususnya produk
pertanian (Kuswanto, 2003).
Dari pratikum yang
telah dilakukan menggunakan sayuran sawi, kangkung dan bayam dengan parameter
kekerasan, warna dan pembusukan serta pengepakan yang dilakukan yaitu dengan
pengemasan dan tidak dilakukan pengemasan yang diulang 2 kali memnunjukkan
perbedaan selama 9 hari pengamatan. Untuk komoditas sayur sawi pengemasan yang
dilakukan mempengaruhi kekerasan, warna dan pembusukan bahan sawi yang dikemas
karena tidak mengalami perubahan secara cepat tetapi lambat untuk perubahannya
sehingga dalam kemasan bahan sawi ini merupakan tanaman yang memiliki daya
simpan yang relatif lama. Untuk komoditas kangkung memiliki bebrapa perubahan
yang relatif lambat terutama kekerasan, warna dan pembusukan yang terjadi
sehingga pengemasan yang dilakukan memiliki pengaruh yang relatif baik karena
dapat menghambat beberapa parameter yang ada seperti kekerasan, warna dan
pembusukan menunjukkan tidak mengalami perubahan. Dan pada sayuran bayam
memiliki perbedaan dari sayur yang lainnya terutama warna pada komoditas karena
warna baik pada kemasan maupun tidak dikemas mengalami perubahan warna yang
cukup signifikan sedangkan pembusukan dan kekerasan terdapat perubahan tetapi
tidak secepat warna yang ada dikomoditas bayam karena pengaruh lapisan plastik
yang ada. Pada pengemasan terjadi penghambatan pertukaran udara dalam kemasan
yang bertujuan untuk menekan laju respirasi serendah mungkin karena adanya
permeabilitas plastik yangg digunakan (Rosalina, Yessy, 2011). Laju dalam
proses pembusukan buah dan sayuran dipengaruhi oleh adanya pertukaran gas yang
terjadi dalam buah.
HASIL 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Dari hasil dan
pembahasan yang ada dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Pengemasan
yang digunakan plastik dan tanpa penggunaan plastik dapat mempengaruhi
kekerasan, warna dan proses pembusukan yang ada dalam komoditas tersebut.
2.
Pengemasan
komoditas holtikultura dapat menghambat proses pembusukan sayuran dalam kemasan
karena terdapat sayuran yang pembusukannya lambat.
3.
Penggunaan
plastik polietilen merupakan salah satu cara menyimpan produk pertanian
terutama tanaman yang disimpan.
5.2
Saran
Proses pengemasan
merupakan salah satu alternatif dalam menyimpan produk pertanian terutama hasil
tanaman holtikultura. Dalam pengemasan perlu memperhatiakan bahan pengemasan
yang digunakan dan produk holtikultura yang akan dikemas karena kedua faktor
tersebut saling keterkaitan dalam proses pengemasan.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiari, dkk. 2008. Teknologi
Pangan Jilid 1 Untuk SMK. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Hawa, La Choviya. 2006. Pengembangan Model Tekstur Dan
Umur Simpan Buah Sawo (Achras Sapota L) Dengan Variasi Suhu Dan
Tekanan Pada
Penyimpanan Hipobarik. Jurnal Teknologi Pertanian 7(1): 10-19.
Kuswanto. 2003. Teknologi Pemroses, Pengemasan dan
Penyimpanan Benih. Yogyakarta: Kanisius.
Rachmawati, Maulida. 2010. Pelapisan
Chitosan Pada Buah Salak Pondoh (Salacca Edulis Reinw.) Sebagai Upaya Memperpanjang Umur Simpan
Dan Kajian
Sifat Fisiknya Selama Penyimpanan. Jurnal
Teknologi Pertanian 6(2): 45-49.
Rosalina, Yessy. 2011. Analisis Konsentrasi Gas Sesaat
dalam Kemasan Melalui Lubang Berukuran Mikro Untuk Pengemasan Buah Segar dengan
Sistem Kemasan Atmosfer Termodifikasi. Agrointek
5(1): 53-58.
Sugiarto, dkk. 2005. Penentuan Komposisi Atmosfer Untuk
Penyimpanan Bawang Daun Rajangan. Jurnal
Teknik Industri Pertanian 15(3): 79-84.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar